Bagaimana hukum investasi emas di
pegadaian. Skemanya, nasabah datang ke pegadaian untuk beli emas. Petugas
pegadaian akan menunjukkan daftar harga emas terkini. Selanjutnya, nasabah
menyebutkan berapa gram emas yang akan dia beli. Misalnya, harga emas ketika
itu 500rb. Nasabah datang dg membawa uang 25 jt, shg cukup utk beli 50 gr emas.
Ketika nasabah menyerahkan uang 25 jt,
pihak pegadaian tdk menyerahkan emas 50 gr, tapi hanya menerbitkan surat
kepemilikan bahwa yang nasabah bersangkutan memiliki emas 50 gr dan dititipkan
ke pegadaian.
Sehingga akad yg dilakukan adl beli emas
lalu dititipkan ke penjualnya. Tapi emasnya tidak ada. Bagaimana hukum
transaksi semacam ini?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala
Rasulillah, wa ba’du,
Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi
(ashnaf ribawiyah), yang bentuknya ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum
kasar, kurma, dan garam.
Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam
hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak
ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur,
gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma,
garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang
dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan dari
tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim 4147).
Bagian ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang perlu digaris
bawahi,
“Jika benda ribawi yang dibarterkan
berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan dari tangan ke tangan
(tunai).”
Kita bisa lihat semangat sahabat dalam menjaga aturan ini. Sampai mereka
melarang pelaku transaksi berpisah selama akad belum diselesaikan.
Ibnu Syihab mengisahkan, Malik bin Aus bin
Al-Hadatsan menceritakan bahwa pada suatu hari dia perlu menukarkan uang 100
Dinar (emas). Mengetahui keinginan ini, Thalhah bin Ubaidillah memanggilku, dan
selanjutnya kami pun bernegoisasi hingga terjadi kesepakatan untuk
tukar-menukar dinar. Setelah terjadi kesepakatan, Thalhah segera mengambil
uangku dan mencermati uang Dinarku. Lalu ia berkata, “Aku akan berikan uang
tukarnya ketika bendaharaku telah datang dari daerah al-Ghabah (satu tempat di
luar Madinah sejauh +30 km).” Kala itu
ucapan Thalhah didengar oleh sahabat Umar bin Khatthab.
Secara spontan Umar berkata kepadaku,
وَاللَّهِ لاَ تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Demi Allah, janganlah engkau meninggalkannya
(Thalhah bin Ubaidillah) hingga engkau benar-benar telah menerima pembayaran
darinya.” Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali bila dilakukan dengan cara ini
(tunai).” (HR. Bukhari 2174)
Pada riwayat lain, sahabat Umar bin
Khattab Radhiyallahu anhu lebih tegas lagi menjelaskan
makna tunai yang dimaksudkan pada hadis tersebut atas, beliau mengatakan,
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan
sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Janganlah
engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan
janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Dan janganlah engkau
menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang
tidak diserahkan secara kontan. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan
emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya
diserahkan secara kontan. Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak
hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah uang
miliknya, maka janganlah sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku kawatir kalian
melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan
ialah riba.” (HR. Imam Malik dan Al-Baihaqi)
Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2
kelompok:
[1] Kelompok 1:
Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan
semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.
[2] Kelompok 2:
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah
semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras,
jagung, atau thiwul.
Aturan Baku yang
Berlaku
Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan
untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib
sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan
rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
harus
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
“takarannya harus sama, ukurannya sama dan
dari tangan ke tangan (tunai).”
Dan jika dalam transaksi itu ada
kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ
سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua, jika barter dilakukan antar barang
yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal:
Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan
dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus
tunai.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا
كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika benda yang dibarterkan berbeda maka
takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”
Terdapat kaidah,
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai.
Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.
Jual Beli Emas di
Pegadaian
Pada hakekatnya jual beli emas adalah
tukar menukar antara emas dengan uang. Dan itu berarti tukar menukar barang
ribawi yang illahnya sama, masih dalam satu
kelompok. Syarat yang berlaku adalah harus dilakukan dari tangan ke tangan.
Sehingga keduanya – uang dan emas – harus ada di tempat transaksi.
Pegadaian dalam hal ini tidak memiliki emas. Sehingga ketika nasabah
menyerahkan uangnya, emas itu tidak ada. Ini jelas transaksi riba nasiah.
Utang dengan Nilai Dikonversi Emas
Dan jika kita perhatikan lebih dekat, hakekat dari transaksi yang bukan
jual beli emas. Jika disebut jual beli emas, pegadaian berarti menjual barang
fiktif. Karena sama sekali dia tidak memilikinya.
Sehingga yang terjadi adalah utang uang namun nilainya dikonversi mengikuti
harga emas. Nasabah menyerahkan uang senilai 50 jt, dan dia hanya mendapat
surat bukti kepemilikan emas senilai harga itu. Selanjutnya, ketika nasabah
mengambil uang itu dan terjadi perubahan nilai mata uang, nasabah akan
mendapatkan uang dengan nilai yang tidak sama seperti yang pernah dia setorkan
ke pegadaian. Jika harga emas naik, nasabah akan mendapat keuntungan. Dan tentu
saja, ini transaksi riba.
Karena itu, produk ini sangat tidak direkomendasikan. Dan kami sarankan,
jauhkan diri anda dari semua bentuk transaksi benda fiktif, termasuk emas
fiktif.
Allahu a’lam.
https://pengusahamuslim.com/5458-hukum-investasi-emas-di-pegadaian.html
No comments:
Post a Comment